Fakta dan Realita Kehidupan
Kang
Darpin mengerjapkan bola matanya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Dengan wajah
bersungut-sungut dimatikannya pesawat TV 14 inchi yang (nyaris) tak pernah
berhenti menyala itu. Maklum, istri dan ketiga anaknya termasuk penggila
sinetron. Sebagian besar waktunya tumpah di depan layar gelas yang sudah mulai
jauh berkurang kualitas gambarnya itu. Mereka baru beranjak tidur setelah
kepenatan menyentuh ubun-ubun akibat dijejali adegan-adegan sinetron yang
kurang membumi; sarat dengan mimpi, teror, kekerasan, dan air
mata. Kang Darpin bukan menyesali kegilaan istri dan ketiga anaknya itu. Lelaki
separo baya itu sangat paham, TV telah menjadi “tuhan” kedua buat mereka. TV
telah menjadi ikon informasi
dan hiburan yang mampu melambungkan mimpi di tengah peradaban yang sakit.
Bukan!
Sekali lagi bukan lantaran “anak buah” teknologi modern itu yang secara ajaib
telah menyihir keluarganya, melainkan kegeramannya terhadap ulah orang-orang
yang mengklaim diri masuk pada klas menengah yang secara vulgar menampilkan
perilaku pongah di depan publik. Bukan kali ini saja Kang Darpin yang pegawai
rendahan itu dipameri ulah kaum menengah kita yang merasa paling benar. Mereka
seperti menjadi “nabi-nabi” baru di tengah para pengikutnya yang bebal dan
bodoh. Mereka merasa menjadi figur publik yang layak dijadikan kiblat dan
rujukan para pengikutnya.
Malam
menjelang dini hari. Kang Darpin belum juga sanggup memejamkan bola matanya.
Bayangan perilaku pongah dan vulgar para “nabi” baru itu terus menari-nari
dalam layar batinnya. Kang Darpin memang tak paham teori. Namun, menurutnya,
suguhan perilaku pongah dan vulgar yang tampil telanjang di depan publik itu bisa
berefek ganda. Disadari atau tidak, TV telah menjadi anak teknologi peradaban
mutakhir. Informasi
sekecil apa pun yang tertayangkan bisa dengan mudah disaksikan penonton
lintas-geografis. Para penonton negeri jiran pun bisa dengan mudah mengakses saluran
stasiun TV kita. Jika suguhan yang tampil “talkshow” yang serba pongah dan
vulgar, jelas akan mampu memberikan imaji negatif terhadap kultur bangsa kita.
Muncul kesan, bangsa kita memang gemar bersitegang dan perang urat syaraf
dengan sesamanya, tetapi loyo dan tak berdaya ketika tampil dalam forum-forum
internasional.
Pada
sisi yang lain, tayangan TV yang serba vulgar dan pongah, juga akan
berimplikasi jahat terhadap mind-set
anak bangsa dalam memandang setiap persoalan. Masalah sekecil apa pun bisa
dibesar-besarkan, dan sebaliknya, persoalan yang besar bisa dibuat kecil.
Lantas, demi mendongkrak rating dan iklan, acara “talkshow” didesain sepanas
mungkin hingga mampu memacu adrenalin dan tensi penonton turun-naik. Imbas
jahat yang lebih berbahaya, pola “talkshow” semacam itu akan menjadi pola
generasi masa kini dalam menyelesaikan masalah. Pola keroyokan pun jadi model.
Bukan salah atau benar yang menjadi substansi persoalan, melainkan sejauh mana
kemampuan seseorang dalam menggaet simpati banyak orang untuk berpihak
kepadanya.
Kang
Darpin mengucak-ucak pelupuk matanya. Di sisinya, sang istri telah terlelap
seperti tengah bermimpi menjadi tokoh “bidadari” yang punya seribu kekuatan
sihir untuk mengatasi setiap persoalan. Untuk ke sekian kalinya, lelaki
berjidat licin itu menghela napas. Tak luput, dadanya pun berkecamuk banyak
pertanyaan yang tak terjawab. Mampukah talkshow rutin yang digelar salah satu
stasiun TV setiap pekan yang menyajikan diskusi panas dan
konon paling bergengsi di negeri ini mampu memberikan pencerahan kepada publik?
“Jangan
salah Sampeyan, Kang Darpin! Itu acara sudah dikemas dengan naluri bisnis
seorang pemilik modal. Mereka hanya butuh rating dan iklan. Persoalan tayangan
acaranya mencerahkan atau tidak, itu persoalan lain! Sampeyan ndak perlu serius
memikirkannya, Kang. Buat apa? Toh para pengambil kebijakan di negeri ini sudah
tak sanggup mengontrolnya!” Tiba-tiba saja ucapan Kang Kitri, kolega
sekantornya, mendesing tajam di dalam gendang telinganya.
Hmm
… inilah repotnya ketika televisi menjadi “tuhan” kedua.
Pemilik modal dan penonton sama-sama butuhnya. Juragan TV butuh keuntungan
finansial, penonton butuh hiburan untuk mengalihkan kesuntukan persoalan
kompleks yang tengah menderanya. Kang Darpin tersentak ketika tiba-tiba saja
seekor tikus liar menerobos masuk ke dalam bilik tidurnya yang lupa dikunci,
lantas tanpa sopan-santun memorak-porandakan botol-botol make-up istrinya yang
sudah kosong.
“Dasar
tikus sialan!” umpatnya dengan bola mata memerah saga.
Fakta dan Realita Kehidupan