Ironisnya Negeri Ini
Waktu kecil, aku suka sekali nonton tv
Apalagi acaranya kartun, bisa berjam-jam sampai2 orang tuaku ngomel
'nonton saja kerjaan kamu, sampai lupa makan'
Serial Si Unyil
itulah tontonan yang sering membuat aku lupa makan
jam tanyangnya setiap hari Minggu, pas pula dengan hari libur
ada satu karakter dalam tokoh kartun itu yang aku tidak suka
dialah Pak Raden
karena Bapak satu ini orangnya benci anak-anak, sering memarahi anak-anak
tapi sebenarnya hatinya baik lo, tergantung suasana hatinya
heeee...tapi keseringan badmood sihh bapak ini
Nah, permasalahan sekarang timbul
Pak Raden yang sekarang memasuki usia senja
Hidupnya pas-pasan, badan renta dan tidak
sehat lagi
Memiliki kehidupan yang bisa dibilang tidak layak untuk seukuran seorang seniman
Seseorang yang dulu menjadi publik figur
Seseorang yang terkenal dinegeri ini
Ironis memang
banyak kalangan yang memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan Pak Raden
masih banyak contoh lain
Negeri apa ini ???
Apa pantas !
Apa layak !
seorang seniman yang dulunya berpengaruh besar memiliki kehidupan tua yang seperti ini ?
Terus terang,
Aku sangat sedih melihat beliau
Aku sangat sedih melihat negeri ini
Hidup sendiri tanpa istri dan kini kesulitan ekonomi serta
sakit-sakitan pula. Itulah penggalan kisah hidup yang dialami Drs Suyadi
atau akrab disapa Pak Raden.
Pak Raden hidup menumpang di rumah
milik kakaknya, di Jalan Petamburan III No 27, Jakarta Barat. Rumah
seluas 4X8 meter,beratapkan seng.
Madun (42), satu dari dua
pembantu menuturkan kalau Pak Raden kini didera sakit encok di sendi
kaki sehingga harus ditopang kursi roda dan tongkat.
Menurut
Madun, tak ada harta yang berharga di dalam rumah yang ditempati Suyadi.
Menurutnya, harta termahal yang dimiliki bosnya adalah hanya lukisan
yang dipajang di ruang tengah. "Itu mahal kalau memang terjual. Tapi,
belakangan ini bapak kesulitan menjual. Mahal, karena melukis itu butuh
emosi dari si pelukisnya. Nggak semua orang bisa mengendalikan emosi,"
ujarnya.
Di dalam kamar yang ditempati Suyadi hanya terdapat
spring bed (kasur) dan sebuah lemari. "Di ruang tengah cuma ada tape
yang pakai kaset model lama, ada
televisi, dan telepon rumah. Selebihnya
tidak punya apa-apa. Sepeda motor atau kendaraan tidak punya," ujar
Madun.
Bermodal uang yang dihasilkan dari menjual lukisan dan
mendongeng untuk acara tertentu, Suyadi harus membayar dua orang
pembantu. "Jadi ada satu pembantu lagi. Kalau saya dibayar Rp 1,5 juta
setiap bulan," ujarnya.
Suyadi juga harus merogoh kocek lebih
dalam untuk cek kondisi lutut dan membeli obat. "Untuk perobatan ke RS
Pelni, untuk lututnya itu, bisa Rp 1 juta setiap bulan. Pengeluarannya
tambah lagi untuk listrik dan telepon rumah," ungkapnya.
Madun
mengaku bahwa Suyadi terbilang atasan yang baik dan jarang marah. "Saya
pernah dimarahi cuma gara-gara saya bilang 'kan' setiap awal saya
ngomong. Jadi, bapak tidak suka kalau saya ngomong kata "kan." Pak Raden
juga tidak suka jika sedang melukis di ruangan bagian depan didatangi
tamu.
"Yah, pokoknya jangan diganggu kalau tidak diminta datang. Dia kan seniman butuh waktu untuk karyanya," ujarnya.
Rumah yang ditinggali Suyadi terdiri dari tiga kamar dan satu
kamar mandi. Satu kamar ditempati Suyadi, satu kamar khusus tempat
melukis, dan satu kamar pembantu.
Sejumlah lukisan jadi dan
setengah jadi terpajang di ruang tengah dan kamar melukisnya. Bercakan
cat juga tampak di beberapa lantai. Kebanyakan karya lukisan Suyadi
bertema anak-anak dan dunia wayang orang dan kulit bergaya
figuratif-naratif.
Sementara di bagian dapur, beberapa perkakas
memasak yang menghitam tampak menempel di dinding. "Kalau bapak mandi,
saya yang menyiapkan air panas. Alhamdulilllah, Bapak masih bisa mandi
sendiri. Saya cuma bantu memapah kalau bapak berjalan dari depan ke
belakang atau sebaliknya," ujarnya.