Korupsi dan Masalah Pendidikan
Korupsi dan Masalah Pendidikan
Bangsa kita seakan tidak pernah luput dari berbagai macam bencana. Mulai
dari gempa, tsunami, tanah lon
gsor, gunung meletus, teroris, kebakaran,
banjir, dan lain-lain. Selain itu, bencana yang tidak kalah
membahayakan saat ini adalah semakin maraknya tindakan korupsi di
kalangan pejabat negara, mulai dari menteri, gubernur, wali kota,
bupati, dan kepala dinas tertentu. Ironisnya, tindakan-tindakan korupsi
ini seakan sudah dianggap suatu hal yang wajar dan pelakunya tidak lagi
malu dan tidak merasa hina dengan apa yang diperbuatnya. Mereka yang
dipercayakan sebagai wakil rakyat ini, tega mencuri uang rakyat
(korupsi) yang diwakilinya demi untuk bermewah-mewah, tanpa memikirkan
bagaimana penderitaan yang dialami oleh banyak rakyat miskin dan
melarat. Mungkin hati mereka sakit atau bahkan sudah mati, sehingga
tidak lagi dapat merasa kasihan di saat melihat banyaknya anak-anak yang
sakit disebabkan kelaparan dan kurang gizi. Akal mereka tidak sehat,
sehingga tidak dapat sejenakpun berpikir bagaimana membantu anak-anak
yang bodoh dan pengangguran akibat tidak bisa sekolah. Demikian rusaknya
moral para pejabat negara saat ini, sehingga mencari dan menganalisis
penyebab masalah ini sangat penting dilakukan dan kemudian berusaha
untuk mengantisifasinya.
Sebagian kalangan menganggap bahwa rusaknya moral bangsa, termasuk meningkatnya tindakan korupsi di kalangan pejabat negara itu, memiliki kaitan dengan masalah pendidikan. Anggapan seperti itu bukan tidak beralasan. Sebab, secara teoritis pendidikan memang memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan karakter seseorang.
Sebagian kalangan menganggap bahwa rusaknya moral bangsa, termasuk meningkatnya tindakan korupsi di kalangan pejabat negara itu, memiliki kaitan dengan masalah pendidikan. Anggapan seperti itu bukan tidak beralasan. Sebab, secara teoritis pendidikan memang memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan karakter seseorang.
Jhon Locke yang terkenal dengan teori
Empirismenya menyimpulkan bahwa, setiap anak yang lahir, adalah dalam
keadaan putih-bersih bagaikan kertas kosong, sementara perkembangan
selanjutnya sangat tergantung kepada orang tua, sekolah (pendidikan),
dan masyarakat, ke arah mana kepribadian anak itu akan mereka bentuk.
Lebih dari itu, dalam perspektif Islam, terdapat teori fitrah, yang
menyimpulkan bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia, adalah ia
dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih (fitrah), dengan dibekali dua
potensi, yaitu potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi
jahat (fuzuuraha wa taqwaaha, Q.S. al-Syams). Selanjutnya, baik atau
tidaknya kepribadian anak itu, sangat tergantung kepada pendidikan yang
diberikan oleh kedua orang tuanya. Teori ini sejalan dengan salah satu
hadits Nabi yang berbunyi sebagai berikut: kullu mauluudin yuuladu ala
al-fitrah, fa abwahu alladzi yuhawwidaanihi, wa yunassiraanihi au
yumajjisaanihi (al-Hadits). Artinya, “setiap anak yang dilahirkan adalah
dalam keadaan firah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia
yahudi, nasrani atau majusi”.
Berdasarkan dua teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang begitu erat antara pendidikan dengan karakter manusia. Dengan demikian, anggapan bahwa adanya kaitan antara rusaknya moral para pejabat negara dengan pendidikan, termasuk tindakan korupsi yang sedang menjadi masalah utama bangsa saat ini sangatlah logis. Jika jalan pikiran ini diterima, maka pertanyaan yang timbul adalah-ada masalah apa dengan pendidikan kita.
Masalah krusial terkait dengan pendidikan kita saat ini adalah masih diterapkannya sistem pendidikan yang parsial. Sistem pendidikan parsial merupakan pola pendidikan yang hanya mengorientasikan pada kecerdasan intelektual siswa dan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual mereka. Di sekolah-sekolah, peran guru tidak lebih sekedar melakukan transfer ilmu ke dalam otak para siswa, yang orientasinya ialah pencapaian nilai raport yang tinggi, tetapi cenderung mengabaikan pendidikan moral (agama). Dengan kata lain, pendidikan kita lebih diarahkan untuk menciptakan generasi yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tanpa mengimbanginya dengan kecerdasan Spritual (SQ/Agama), dan kecerdasan emosional (EQ/hati), sehingga out put dari sistem pendidikan seperti ini adalah lahirnya manusia-manusia yang pintar, tetapi tak bermoral, seperti para koruptor.
Para guru lebih mengutamakan kecerdasan otak daripada kecerdasan hati para siswanya. Padahal hati yang cerdas tentu lebih penting dan utama bagi manusia daripada segala-galanya. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali bahwa hati laksana raja, dan anggota tubuh ibarat rakyatnya. Apabila raja baik, maka rakyatnya akan baik. Sebaliknya, jika raja tidak baik, maka rakyatnya juga tidak baik.
Jika sistem pendidikan seperti ini tetap dibiarkan, maka wajarlah kalau saat ini dan bahkan untuk ke depan, kita akan tetap menyaksikan kerusakan moral yang akan terus melanda bangsa ini, seperti pemerintahan yang koruptor, penyakit masyarakat (judi, mabuk, perselingkuhan), kenakalan remaja (budaya kekerasan, perkosaan, hubungan seks di luar nikah, konsumsi narkoba), dan lainnya.
Oleh karena itu, sebagai upaya antisipasi, saatnyalah bagi semua elemen bangsa, terutama bagi para guru dan pengambil kebijakan di bidang pendidikan agar merubah paradigma system pendidikan yang parsial dan menuju sistem pendidikan yang integral, yaitu dengan memadukan antara ilmu-ilmun umum dengan ilmu agama. Para guru diharapkan agar tidak sekedar mentransfer ilmu ke dalam otak para siswanya, akan tetapi harus disertai dengan upaya mengasah hati nurani mereka. Sebab, sebagaimana disebutkan di atas, hati merupakan aspek paling esensial dari seluruh organ tubuh para siswa yang berfungsi sebagai pengendali dari seluruh tindakan-tindakan mereka. Hatilah yang akan menentukan baik atau tidaknya karakter mereka di masa depan.
Berdasarkan dua teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang begitu erat antara pendidikan dengan karakter manusia. Dengan demikian, anggapan bahwa adanya kaitan antara rusaknya moral para pejabat negara dengan pendidikan, termasuk tindakan korupsi yang sedang menjadi masalah utama bangsa saat ini sangatlah logis. Jika jalan pikiran ini diterima, maka pertanyaan yang timbul adalah-ada masalah apa dengan pendidikan kita.
Masalah krusial terkait dengan pendidikan kita saat ini adalah masih diterapkannya sistem pendidikan yang parsial. Sistem pendidikan parsial merupakan pola pendidikan yang hanya mengorientasikan pada kecerdasan intelektual siswa dan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual mereka. Di sekolah-sekolah, peran guru tidak lebih sekedar melakukan transfer ilmu ke dalam otak para siswa, yang orientasinya ialah pencapaian nilai raport yang tinggi, tetapi cenderung mengabaikan pendidikan moral (agama). Dengan kata lain, pendidikan kita lebih diarahkan untuk menciptakan generasi yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tanpa mengimbanginya dengan kecerdasan Spritual (SQ/Agama), dan kecerdasan emosional (EQ/hati), sehingga out put dari sistem pendidikan seperti ini adalah lahirnya manusia-manusia yang pintar, tetapi tak bermoral, seperti para koruptor.
Para guru lebih mengutamakan kecerdasan otak daripada kecerdasan hati para siswanya. Padahal hati yang cerdas tentu lebih penting dan utama bagi manusia daripada segala-galanya. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali bahwa hati laksana raja, dan anggota tubuh ibarat rakyatnya. Apabila raja baik, maka rakyatnya akan baik. Sebaliknya, jika raja tidak baik, maka rakyatnya juga tidak baik.
Jika sistem pendidikan seperti ini tetap dibiarkan, maka wajarlah kalau saat ini dan bahkan untuk ke depan, kita akan tetap menyaksikan kerusakan moral yang akan terus melanda bangsa ini, seperti pemerintahan yang koruptor, penyakit masyarakat (judi, mabuk, perselingkuhan), kenakalan remaja (budaya kekerasan, perkosaan, hubungan seks di luar nikah, konsumsi narkoba), dan lainnya.
Oleh karena itu, sebagai upaya antisipasi, saatnyalah bagi semua elemen bangsa, terutama bagi para guru dan pengambil kebijakan di bidang pendidikan agar merubah paradigma system pendidikan yang parsial dan menuju sistem pendidikan yang integral, yaitu dengan memadukan antara ilmu-ilmun umum dengan ilmu agama. Para guru diharapkan agar tidak sekedar mentransfer ilmu ke dalam otak para siswanya, akan tetapi harus disertai dengan upaya mengasah hati nurani mereka. Sebab, sebagaimana disebutkan di atas, hati merupakan aspek paling esensial dari seluruh organ tubuh para siswa yang berfungsi sebagai pengendali dari seluruh tindakan-tindakan mereka. Hatilah yang akan menentukan baik atau tidaknya karakter mereka di masa depan.
Para siswa yang merupakan generasi penerus bangsa itu,
hendaknya diarahkan agar tidak sekedar cerdas secara intelektual (IQ),
akan tetapi juga cerdas secara spiritual (SQ) dan emosional (EQ).
Sehingga, Jika menjabat suatu jabatan di masa depan, mereka tidak
melakukan kecurangan-kecurangan, seperti mencuri uang rakyat (korupsi)
sebagaimana yang sedang menjadi masalah utama bangsa saat ini. Sebab,
disamping mereka cerdas otak, mereka memiliki hati nurani yang terasah,
yang menjadi penasehat dalam tindakan-tindakannya.
Bukankah di dalam
satu hadits Nabi mengatakan sebagai berikut: Alaa wa Inna fil Zasadi
mudgah, idzaa salahat salah al-zasadu kulluhu, wa idzaa fasadat fasadal
zasadu kulluhu, alaa wahiya al-qalb. Artinya, “Ingatlah! sunggguh, di
dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, jika segumpal danging itu
baik, maka baiklah seluruh anggota tubuhnya, dan jika segumpal daging
itu buruk, maka buruklah seluruh anggota tubuhnya, dan segumpal daging
itu adalah hati” (al-Hadits).
Sumber :http://waspada.co.id/index.php/images/plugins/content/highslide/graphic/index.php?option=com_content&view=article&id=200427:korupsi-dan-masalah-pendidikan&catid=25:artikel&Itemid=44
by. M. Ridwan Harahap
0 komentar:
Post a Comment