Safe House yang Tak Lagi Aman.
Berperan
menjadi detektif atau petugas kepolisian bukanlah hal baru dalam karier aktor
Denzel Washington. Wajah serius pria 57 tahun itu bisa membuat penonton percaya
kalau Washington adalah detektif sungguhan. Tapi bagaimana jika dia memerankan
karakter pembelot, mampukah Washington menampilkan karakter sama
kuat seperti film terdahulunya? jawabannya, "Ya, dia mampu."
Berduet
dengan Ryan Reynolds sebagai Matt Weston dalam film Save House, Washington berhasil mempermainkan pikiran
penonton selama 117 menit. Di film garapan sutradara Daniel Espinosa ini,
Washington sendiri mengambil karakter Tobin Frost, seorang pembelot CIA yang
telah lama menjadi buronan.
Frost
dan Weston pertama kali bertemu di sebuah Safe House atau rumah perlindungan
yang dimiliki CIA di Cape Town, Afrika Selatan. Weston adalah penunggu rumah
itu dan Frost datang dalam pengawalan ketat petugas CIA bersenjata lengkap.
Mereka akan menginterograsi Frost di sana. Sebetulnya ini bukan momen
perkenalan yang bagus, baik antara keduanya atau bagi penonton. Karena sejak
pertemuan itu, suasana di ruang menonton diisi dengan ketegangan.
Kelompok
pengincar Frost tiba-tiba menyerang Safe House, tembakan demi tembakan pun
dimuntahkan antara CIA yang harus melindungi dia dengan lawannya. Frost
terdesak, dia terancam mati. Tapi bukan Denzel Washington namanya kalau tidak
bisa memerankan karakter yang jago memanipulasi orang. Dengan mimik sangat
meyakinkan, permainan kata-kata, serta mata tajamnya, Washington berhasil
membawakan Frost untuk memanipulasi keadaan. Hasilnya, Weston mau mengeluarkan
Frost dari rumah itu, mereka kabur.
Frost
dan Weston memang berhasil keluar dari pertempuran kecil di Safe House, tapi
itu bukan berarti penonton bisa bernapas lega. Toh sutradara Espinosa malah
membuat jalan cerita bertambah rumit dan penuh teka-teki. Espinosa sengaja
tidak memberitahu siapa pengutus kelompok yang mengincar Frost. Bahkan
orang-orang di kantor pusat CIA bertanya-tanya mengapa Frost begitu menarik
untuk diincar. Baik penonton maupun kepala CIA sama-sama berpikir siapakah otak
pengincar Frost.
Melihat
karakter Frost yang licin seperti belut, tidak hanya Weston saja yang sebal.
Penonton juga merasa geregetan karena berkali-kali Frost berusaha melepaskan
diri dari penjaganya itu. Sehingga pertentangan tidak hanya terjadi antara
Weston dengan pengincar Frost, dia juga harus mati-matian menghadapi Frost.
Jadilah mereka seperti kucing-kucingan. Tapi di situlah uniknya Safe House.
Jalan cerita yang tidak mudah ditebak serta alur klimaks-antiklimaks yang
terus-menerus terjadi membuat penonton betah memelototi layar.
Berbeda
dengan film intelejen lainnya, Safe
House tidak menonjolkan peralatan nan canggih seperti diumbar dalam
film James Bond, Mission:
Impossible, atau Mr and
Mrs Smith. Hanya berbekal senjata api, Espinosa bisa membuat
penonton larut dalam alur cerita. Memang pendukung utama film bagus itu bukan
teknologi, melainkan cerita dan naskahnya. Dan di Safe House, penulis naskah
David Guggenheim memang bisa menyajikan cerita yang menarik, membuat penonton
berkali-kali terkajut.
Reynolds
sendiri tidak kalah bagus memerankan karakter Weston yang merupakan agen baru
di CIA. Belasan film yang pernah dia bintangi, seperti X-Men Origins: Wolverine, Green Lantern, atau Blade: Trinity membuat penonton
tidak hanya menikmati wajah gantengnya saja, tapi juga aktingnya.
Tapi
di akhir cerita sepertinya Guggenheim dan Espinosa sama-sama kehabisan ide
untuk menutup Safe House. Karena pada bagian itu, adegan Safe House sama persis dengan Mission: Impossible - Ghost Protocol.
Situasi di mana Weston harus rela melepaskan kekasihnya dan hanya bisa melihat
dari kejauhan saja.
Untuk
sebuah film bergenre thriller, Safe
House layak diberi Tujuh bintang, artinya cukup bagus ditonton pada
akhir pekan, terutama bagi penggemar Denzel Washington atau Anda yang suka
melihat kegantengan Ryan Reynolds.