Welfare State Versus Negara Vampir
Welfare State Versus Negara Vampir Konstitusi
negara meng_amanah_kan negara agar mengayomi, melindungi, dan memenuhi hak-hak
rakyatnya. Bagi anak-anak tidak mampu, negara wajib memeliharanya. Bagi orang
miskin, negara wajib menyantuninya. Negara juga wajib menyediakan lapangan
kerja bagi rakyatnya, wajib menggunakan seluruh kekayaan alam negeri yang ada
semata-mata untuk mensejahterakan rakyatnya, wajib memberikan rasa aman, wajib
melindungi rakyatnya dari apa pun juga. Ini semua termaktub dengan jelas di
dalam konstitusi negara.
Di dalam konstitusinya, Indonesia menginginkan menjadi sebuah negara berkesejahteraan (Welfare State). Untuk bekerja demi memenuhi semua hak-hak dasar rakyat inilah, negara memerlukan biaya. Salah satunya dari pajak yang merupakan suatu elemen terpenting untuk kepentingan penyejahteraan rakyat. Dengan membayar pajak, rakyat akan mendapatkan fasilitas publik yang memadai seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, pangan dan sandang yang murah, serta tunjangan sosial bagi mereka yang tidak mampu.
Dengan pajak, orang Jerman bisa memperoleh pendidikan gratis, orang Inggris bisa menikmati biaya rumah sakit dan pengobatan gratis, lalu di beberapa negara federal Amerika orang bisa bertelepon-ria tanpa dipungut biaya, dan di banyak negara Eropa ada tunjangan sosial bagi orang jompo, orang cacat, dan pengangguran.
Di Indonesia, semuanya harus bayar. Bahkan untuk pipis saja pun dikenakan biaya. Hanya tertawa dan—maaf—kentut yang belum dikenai pajak di negara ini.
Mungkin saja ada yang mengemukakan dalih jika pajak kita masih terlalu kecil dibandingkan dengan pajak di negara-negara yang telah sejahtera. Namun, bila dilihat realita yang ada, alasan itu tidaklah benar. PPN di negara Eropa, misalnya, sesuai dengan proposal European Union, dipatok hanya 14-20%. Di Inggris hanya 17,5%, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia.
Namun dengan pajak sebesar itu, mereka bisa memberikan fasilitas publik yang sangat memuaskan. Negara-negara tersebut, yang kekayaan alamnya tidak sedahsyat Indonesia, mampu memberikan layanan publik sangat baik dengan hanya menarik pajak yang tidak terlalu banyak selisihnya dengan yang ditarik oleh pemerintah Indonesia.
Di Indonesia, semua orang dikenakan pajak. Kian hari pajak kian tinggi. Sama seperti retribusi jalan tol yang kian hari kian besar, padahal kenyataannya, jalan tol kian hari kian Macet, dan pemeliharaannya pun kian memprihatinkan. Di Indonesia, hanya pejabatnya yang hidup kian sejahtera, mendapat fasilitas mewah, gaji dan tunjangan besar, anggota DPR-nya pelesiran ke luar negeri bersama anak isteri, semuanya dibiayai dari uang pajak (baca: merampok rakyat). Namun fasilitas umum dan tunjangan sosial bagi rakyat nihil. Bahkan banyak dari sektor yang sebenarnya hak milik rakyat malah diswastanisasikan.
Salman Luthan dan Agus Triyanta, dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, dalam Jawa Pos (11/10/2005) menulis dengan cukup tajam masalah pajak di negeri ini, “Apa bedanya antara perampok dan negara? Keduanya sama-sama mengisap uang rakyat. Keduanya sama-sama bisa memaksa rakyat. Jika perampok adalah orang atau sekelompok orang yang mengambil kekayaan orang lain untuk diri mereka, negara terdiri atas kelompok orang yang mengambil pajak dari rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, atau minimal untuk kepentingan bersama. Logikanya, jika rakyat diisap kekayaannya lewat berbagai pajak dan pungutan, terpaksa atau tidak terpaksa, dan kemudian uang tersebut oleh negara tidak dikembalikan kembali kepada rakyat, niscaya negara itu juga sama saja dengan perampok, yaitu perampok yang terorganisasi.”
Di negara vampir seperti Indonesia sekarang ini, pajak hanya digunakan untuk memperkaya sebagian golongan yang berkuasa. Padahal mereka juga memperkosa kekayaan sumber daya alamnya. Indonesia yang sekarang dikuasai oleh orang-orang rakus dan serakah bermental korup ini memang harus didekontsruksi ulang. Rakyat harus bangkit dan bergerak melindas mereka semua.
Mungkin sebab itu, Islam mengharamkan pajak. Hal ini pernah ditegaskan Dr. Daud Rasyid dalam suatu kajian keislaman di Jakarta beberapa tahun lalu. Islam membangun negerinya bukan dengan pajak, tetapi dengan kekayaan alam yang dimiliki dan dengan usaha yang penuh keberkahan. Wallahu’alam bishawab.
Di dalam konstitusinya, Indonesia menginginkan menjadi sebuah negara berkesejahteraan (Welfare State). Untuk bekerja demi memenuhi semua hak-hak dasar rakyat inilah, negara memerlukan biaya. Salah satunya dari pajak yang merupakan suatu elemen terpenting untuk kepentingan penyejahteraan rakyat. Dengan membayar pajak, rakyat akan mendapatkan fasilitas publik yang memadai seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, pangan dan sandang yang murah, serta tunjangan sosial bagi mereka yang tidak mampu.
Dengan pajak, orang Jerman bisa memperoleh pendidikan gratis, orang Inggris bisa menikmati biaya rumah sakit dan pengobatan gratis, lalu di beberapa negara federal Amerika orang bisa bertelepon-ria tanpa dipungut biaya, dan di banyak negara Eropa ada tunjangan sosial bagi orang jompo, orang cacat, dan pengangguran.
Di Indonesia, semuanya harus bayar. Bahkan untuk pipis saja pun dikenakan biaya. Hanya tertawa dan—maaf—kentut yang belum dikenai pajak di negara ini.
Mungkin saja ada yang mengemukakan dalih jika pajak kita masih terlalu kecil dibandingkan dengan pajak di negara-negara yang telah sejahtera. Namun, bila dilihat realita yang ada, alasan itu tidaklah benar. PPN di negara Eropa, misalnya, sesuai dengan proposal European Union, dipatok hanya 14-20%. Di Inggris hanya 17,5%, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia.
Namun dengan pajak sebesar itu, mereka bisa memberikan fasilitas publik yang sangat memuaskan. Negara-negara tersebut, yang kekayaan alamnya tidak sedahsyat Indonesia, mampu memberikan layanan publik sangat baik dengan hanya menarik pajak yang tidak terlalu banyak selisihnya dengan yang ditarik oleh pemerintah Indonesia.
Di Indonesia, semua orang dikenakan pajak. Kian hari pajak kian tinggi. Sama seperti retribusi jalan tol yang kian hari kian besar, padahal kenyataannya, jalan tol kian hari kian Macet, dan pemeliharaannya pun kian memprihatinkan. Di Indonesia, hanya pejabatnya yang hidup kian sejahtera, mendapat fasilitas mewah, gaji dan tunjangan besar, anggota DPR-nya pelesiran ke luar negeri bersama anak isteri, semuanya dibiayai dari uang pajak (baca: merampok rakyat). Namun fasilitas umum dan tunjangan sosial bagi rakyat nihil. Bahkan banyak dari sektor yang sebenarnya hak milik rakyat malah diswastanisasikan.
Salman Luthan dan Agus Triyanta, dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, dalam Jawa Pos (11/10/2005) menulis dengan cukup tajam masalah pajak di negeri ini, “Apa bedanya antara perampok dan negara? Keduanya sama-sama mengisap uang rakyat. Keduanya sama-sama bisa memaksa rakyat. Jika perampok adalah orang atau sekelompok orang yang mengambil kekayaan orang lain untuk diri mereka, negara terdiri atas kelompok orang yang mengambil pajak dari rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, atau minimal untuk kepentingan bersama. Logikanya, jika rakyat diisap kekayaannya lewat berbagai pajak dan pungutan, terpaksa atau tidak terpaksa, dan kemudian uang tersebut oleh negara tidak dikembalikan kembali kepada rakyat, niscaya negara itu juga sama saja dengan perampok, yaitu perampok yang terorganisasi.”
Di negara vampir seperti Indonesia sekarang ini, pajak hanya digunakan untuk memperkaya sebagian golongan yang berkuasa. Padahal mereka juga memperkosa kekayaan sumber daya alamnya. Indonesia yang sekarang dikuasai oleh orang-orang rakus dan serakah bermental korup ini memang harus didekontsruksi ulang. Rakyat harus bangkit dan bergerak melindas mereka semua.
Mungkin sebab itu, Islam mengharamkan pajak. Hal ini pernah ditegaskan Dr. Daud Rasyid dalam suatu kajian keislaman di Jakarta beberapa tahun lalu. Islam membangun negerinya bukan dengan pajak, tetapi dengan kekayaan alam yang dimiliki dan dengan usaha yang penuh keberkahan. Wallahu’alam bishawab.
0 komentar:
Post a Comment